Jakarta – 2 Oktober 2025 | Indonesia tengah menghadapi krisis moral dan hukum yang menggerogoti fondasi demokrasi. Dalam waktu hampir bersamaan, dua tragedi menimpa suara-suara kebenaran: wartawan dipukul hingga buta, sementara pejuang rakyat dikriminalisasi dan dijebloskan ke penjara.
Dua cerita berbeda, namun benang merahnya sama: negara lamban, hukum tunduk, dan kekuasaan berpihak pada yang kuat.
Diri Ambarita, wartawan di Bekasi, dipukuli secara brutal hingga mengalami kebutaan di mata kiri serta luka serius lainnya. Hingga kini, pelaku belum ditangkap, bahkan aparat belum memberi kepastian mengenai perkembangan kasus tersebut.
Di Sumatra Utara, wartawan lain, Tahan Purba, justru menghadapi ironi yang lebih pahit. Setelah dikeroyok empat pria, ia malah dilaporkan balik oleh para pelaku, dan kini statusnya berbalik menjadi terlapor.
“Ini adalah bentuk pembungkaman terhadap fungsi kontrol pers,” tegas Prof. Dr. Sutan Nasomal, SH, MH, pakar hukum dan pengamat demokrasi. “Jika negara tidak segera bertindak, pesan yang tersampaikan ke publik jelas: jangan bicara kebenaran, atau kamu akan dibungkam.”
Di Aceh Singkil, seorang aktivis agraria bernama Yakarim Munir Lembong kini ditahan atas laporan pidana dari perusahaan sawit PT Delima Makmur. Penahanan itu terjadi di tengah proses gugatan perdata yang masih berlangsung—indikasi kuat adanya upaya kriminalisasi untuk membungkam suara kritis.
Dalam surat terbuka dari balik jeruji, Yakarim menulis:“Para pejuang yang tak pernah mati, justru sedang diadili oleh konspirasi titipan para oligarki. Kami korban dari sistem yang ingin membungkam perjuangan.”
Surat tersebut ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, tokoh masyarakat, media, dan seluruh rakyat Indonesia.
Kuasa hukumnya, Zahrul, SH, menegaskan:“Ini murni sengketa perdata. Tidak ada alasan hukum untuk memenjarakan Yakarim. Penahanan ini adalah bentuk nyata kriminalisasi terhadap pembela hak rakyat.”
Dua kasus ini—wartawan yang dipukuli dan aktivis yang dikriminalisasi—adalah cermin wajah buram demokrasi Indonesia hari ini. Ketika rakyat bersuara, mereka dipukul. Ketika rakyat menggugat, mereka dipenjara.
“Bangkitlah wahai rakyat! Bila hukum telah menjadi alat kekuasaan, dan keadilan telah dijual, maka kita tak bisa tinggal diam,” seru Yakarim dari balik penjara.
Ini bukan sekadar dua kasus hukum terpisah. Kita sedang menyaksikan pola pembungkaman yang sistemik. Wartawan dibungkam, pejuang rakyat dipenjara, sementara negara memilih menjadi penonton.
Di mana Dewan Pers? Di mana Komnas HAM? Di mana suara elite politik yang dulu lantang bicara demokrasi?
Indonesia tidak butuh lagi kutukan moral belaka. Kita butuh gerakan sosial, solidaritas rakyat, dan hukum yang benar-benar bekerja untuk rakyat—bukan untuk oligarki.
Yakarim bukan kriminal. Ia adalah anak dari Hj. Rafi’ Barus, seorang perempuan pejuang yang pernah dibuang secara politik. Tumbuh di pinggir Sungai Leu Cinendang, Aceh Singkil, Yakarim menjadi simbol perjuangan akar rumput yang menolak tunduk pada korporasi rakus dan negara yang abai.
Demokrasi mati bukan hanya ketika tank masuk ke jalanan, tetapi juga ketika suara-suara kecil tak lagi didengar, dan kebenaran justru menjadi alasan untuk dipenjara.
Hari ini, Diri Ambarita tidak bisa melihat. Tahan Purba dilaporkan balik. Yakarim dipenjara.
Besok bisa jadi giliran kita semua.
Narasumber : Prof. Dr. Sutan Nasomal, SH, MH – Pakar Hukum Internasional, Ekonom, Presiden Partai Oposisi Merdeka, Jenderal Kompii, dan Pengasuh Ponpes Ass Saqwa Plus Jakarta.







