InsightTribun.com|JAKARTA – Suara dari pelosok daerah mungkin tak selalu terdengar nyaring di ruang-ruang para pemimpin, baik di kota maupun kabupaten. Lalu bagaimana dengan pemerintah pusat, apakah masih mendengar suara anak bangsa dari pelosok negeri?
Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH., MH., dalam keterangannya kepada media menegaskan pentingnya mengingat sejarah bangsa. Ia menyampaikan bahwa jejak perjuangan melawan penjajah, termasuk para pengkhianat bangsa yang berpihak kepada kekuatan asing, masih tersimpan rapi dalam ingatan masyarakat dan dokumen sejarah.
“Tapak tilas perjuangan di berbagai daerah membuktikan bahwa kemerdekaan tidak datang begitu saja. Begitu pula membangun negara, itu bukan hal yang gratis,” ujarnya.
Menurutnya, para pemuda saat itu bersatu bersama para pejuang dari berbagai daerah untuk mengusir penjajah. Bukti-bukti sejarah, termasuk penangkapan hingga pembuangan para tokoh perlawanan, masih bisa ditemukan hingga kini. Bahkan, beberapa kerajaan di Nusantara ikut berperan aktif dalam melawan penjajah, baik secara diplomatis maupun lewat perlawanan gerilya.
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda, didirikan pada 20 Maret 1602, menjadi simbol awal penjajahan modern di Nusantara. Belanda juga mendirikan tentara bernama KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger), dan mereka banyak merekrut pribumi untuk menjadi tentara rendahan atau penjaga, yang dalam istilah Jawa disebut Londo Ireng.
Opas (dari bahasa Belanda opasser) adalah istilah untuk penjaga atau pelayan, yang kemudian digunakan Belanda untuk menyebut para penjaga mereka dari kalangan pribumi. Mereka dijadikan alat untuk memecah belah sesama anak bangsa.
“Politik adu domba atau devide et impera berjalan masif saat itu. Pribumi dibenturkan dengan pribumi. Para pejuang seperti Cut Nyak Dhien, Pangeran Diponegoro, hingga Imam Bonjol bisa ditangkap karena adanya pengkhianatan dari orang dalam sendiri,” ungkap Prof. Sutan.
Ia menekankan, meski saat ini nama-nama pengkhianat tersebut tak banyak tercatat, namun jejaknya masih membekas dalam memori sejarah rakyat.
Setelah kemerdekaan diproklamasikan, perjalanan Indonesia sebagai negara juga dibangun atas dasar gotong royong dari seluruh penjuru negeri. Dukungan besar datang dari para saudagar, kerajaan, dan tokoh lokal.
“Gabungan Saudagar Indonesia dari Aceh pernah menyumbangkan 25 kg emas untuk mendukung negara. Bahkan emas di puncak Monas adalah sumbangan dari seorang pengusaha asal Aceh, Teuku Markam, sebanyak 28 kilogram,” jelas Prof. Sutan.
Kerajaan Siak Indrapura juga tercatat menyumbang 13 juta gulden atau setara 1,4 triliun rupiah kepada pemerintah Indonesia.
Semua itu, menurut Prof. Sutan, menjadi bukti bahwa berdirinya Indonesia adalah hasil dari kerja bersama. “Indonesia ada karena perjuangan para pemimpin lokal, kerajaan, tokoh adat, dan para pendatang yang menikah dengan pribumi. Jangan sampai sejarah ini dilupakan,” tegasnya.
Memasuki usia ke-80 tahun Indonesia merdeka, Prof. Sutan Nasomal mengajak Presiden RI, Jenderal (Purn.) H. Prabowo Subianto, untuk menengok kembali sejarah bangsa — khususnya peran daerah, kerajaan, dan rakyat kecil dalam memperjuangkan kemerdekaan.
“Jangan biarkan perjuangan mereka dilupakan. Jangan pula biarkan para pengkhianat negeri yang merusak hutan, menguras laut, dan merampok kekayaan bangsa merajalela. Perangi koruptor, perangi oknum mafia hukum yang menindas rakyat kecil,” katanya lantang.
Ia juga menyarankan agar peringatan Hari Kemerdekaan tidak hanya digelar di Istana Merdeka, Jakarta. “Akan lebih bermakna jika digelar juga di daerah-daerah asal para pejuang kemerdekaan, agar generasi muda tahu siapa yang membuat kita merdeka hari ini.”
Menurut Prof. Sutan, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” harus dijalankan secara nyata, bukan sekadar wacana.
“Kalau tidak, arah terpecahnya NKRI bisa semakin nyata. Kita butuh pemimpin yang tegas, berani, dan berpihak pada rakyat. Hukum jangan hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” tutupnya.